Tadi pagi saya menonton acara tivi dengan presenter Ferdi Hasan dan Rieke Dyah. Salah topik hari ini adalah “pengajaran bahasa asing untuk anak-anak”. Sepertinya topik begini sudah jadi topik umum di jaman sekarang, ya? Agak berbeda jaman saat Hikari baru lahir dulu.
Di liputan itu, diperlihatkan beberapa sekolah pra-SD yang punya kurikulum bilingual maupun total English. Lalu ada dua orang narasumber yang berbicara tentang pengalaman anak-anak mereka dengan multi languages. Ini dia yang membuat saya tergerak untuk menulis isu multilingual learners, sekaligus menjawab pertanyaan banyak orang kepada saya tentang Hikari dan pengalamannya bersinggungan dengan bahasa asing di umur semuda ini (sekarang 4 tahun).
Ibu pertama, punya dua anak; sulung laki-laki usia 4 tahunan, kedua perempuan usia 3 tahunan. Ibu ini memasukkan kedua anaknya ke sekolah berbahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Di rumah, kedua anaknya juga berbahasa Inggris. Yang terjadi adalah si sulung berbicara dalam bahasa campuran, cenderung acak-acakan, dan seringkali dengan gesture. Tapi si ibu dengan optimis berkata kalau sejalan dengan umur, si sulung akan bisa melewati periode bahasa acak-acakan ini.
Ibu kedua anak pertamanya, perempuan, harus dibawa ke psikolog dan diterapi karena tak juga bicara. Latar belakangnya, pada usia masih toddler dia dibawa ke Jepang selama 3 tahun. Disana –walau tidak sekolah- si anak bersinggungan dengan bahasa Indonesia, Jepang, dan Inggris. Persis Hikari. Ketika mereka kembali ke Indonesia, si anak ditolak masuk sekolah manapun karena disangka autis. Gara-garanya anak ini hanya bisa bahasa bubbling, tak ber-‘kata’, hanya suara tak jelas –dia menyebutnya bahasa planet. Sang ibu pun kapok dan trauma dengan soal multilingual ini.
Lalu, bagaimana dengan Hikari dan bahasa asing? Sebagai seorang guru bahasa Inggris, tekanan dari orang lain terhadap saya untuk membuat Hikari langsung bisa berbahasa Inggris sejak lahir sangat tinggi! Tapi, justru saya yang menolak membuat Hikari bilingual sejak bayi. Kami, saya terutama, justru ingin membuat Hikari berbahasa Indonesia yang baik dan benar sampai ke titik komanya.
Alasannya: 1) Saya prihatin melihat murid-murid saya yang -berbahasa Inggris tentu masih susah-berbahasa Indonesia yang baik pun tak bisa. Banyak penelitian menyebutkan bila seseorang tak mampu berbahasa yang baik, orang itu juga tak bisa berlogika (mengambil kesimpulan) yang runtut, apalagi menyampaikan hasil pikirannya dengan jernih dan runtut. Ini alarm pertama saya.
2) Berdasarkan referensi-referensi yang saya baca itu, saya mengambil kesimpulan bahwa Hikari harus menguasai satu bahasa dulu dengan baik. Daaannn karena kami orang Indonesia, juga karena kami tak punya rencana ambisius untuk mengirim Hikari sekolah ke luar negeri (ambisius, karena buat makan sehari-hari aja masih mikir. Ini alarm kedua saya.), SATU bahasa yang harus dikuasai benar oleh Hikari adalah tentu saja Bahasa Indonesia dong.
3) Poin ketiga ini terus terang 'teori' saya pribadi. Saya berteori kalau Hikari sudah menguasai satu bahasa dengan baik dan benar, dia akan lebih cepat menyerap bahasa asing. Landasan teori saya, kalau Hikari sudah paham -tanpa sadar, tentunya- struktur satu bahasa, dia hanya tinggal memanipulasi struktur bahasa itu dengan kosakata bahasa asing. Tentu, grammar tiap bahasa berbeda, tapi kan yang diperlukan oleh seorang anak kecil yang first learner adalah vocab. Menurut saya.
4) Saya juga sering mendengar, melihat, dan mengalami sendiri anak-anak yang menjadi 'silent' akibat multi languages exposure yang dia terima. Anak-anak ini ada yang tak bisa 'bicara' (hanya bubbling, noise tanpa arti) sampai usia SD sehingga mengalami stress dan butuh terapi. Beberapa orang optimis bilang silent period ini hanya sementara, toh nantinya si anak akan langsung berbicara dalam lebih dari dua bahasa atau lebih. Maksudnya, diam sebentar tapi langsung nyerocos dua sekaligus. Maaf, saya tak mau ini. Saya memilih anak saya tertunda kemampuannya berbahasa asing, daripada dia mengalami silent period dan tak bicara sama sekali. Siapa yang jamin silent period ini akan berakhir dalam sebulan, dua bulan, setahun? Lalu selama periode itu, bagaimana anak saya mengkomunikasikan perasaannya, pikirannya? Bagaimana? Dengan tantrum? Ini alarm ketiga saya.
5) Saya tak bisa menyediakan lingkungan yang suportif dan otentik buat Hikari untuk ber-bilingual. Teorinya, seorang anak akan lebih cepat (dari segi penyerapan dan hilang kebingungannya) berbahasa asing bila lingkungan sehari-harinya mendukung. Orang tua harus selalu berbahasa asing dengannya sehingga pemakaian bahasa asing ini menjadi wajar, seperti di negeri asalnya. Duh, penghuni rumah saya sih memang multilingual, tapi Inggris bukan salah satunya. Saya menyadari betul keterbatasan kami ini. Ini alarm keempat.
6) Berdasarkan pengalaman, saya tak terlalu rusuh ingin meng-Inggris-kan Hikari sedini mungkin. Kata Papap, dia juga baru belajar bahasa Inggris pas SMP kok. Toh, sekarang dia bisa juga menguasainya. Terdengar menyepelekan? Ah, enggak. Hanya mencoba realistis. Lagipula, saya, walaupun mendapat exposure dari bapak saya yang bicara tiga setengah bahasa (pakai setengah, soalnya yang bahasa Arab cuma bisa baca tulis gak bisa ngomong hehehe), juga tak mendapat pengajaran bahasa Inggris khusus sejak kecil. Sistem bapak saya adalah sambil lalu sambil ngobrol sambil main, nanti juga nyangkut. Berdasarkan pengalaman kami berdua itu, kami pun yakin Hikari akan baik-baik saja walau tak bilingual sejak orok.
7) Kemampuan Bilingual berarti kemampuan bicara dalam dua bahasa dengan sama baiknya. Hanya saja saat ini banyak sekolah yang justru menitik beratkan pada bahasa Inggris. Akibatnya, si anak hanya bisa berbahasa Inggris, dan malah tidak bisa berbahasa Indonesia. Jadi tidak ada bedanya antara anak Indonesia biasa dengan anak ini. Keduanya sama-sama bisa satu bahasa saja. Si anak yang berbahasa Inggris tidak menjadi bilingual speaker mengingat kemampuan bahasa Indonesianya juga pas-pasan.
Setelah alasan-alasan kami itu terkumpul dan terkomunikasikan dengan baik, ini lah yang terjadi:
1> Saya membacakan buku untuk Hikari sejak dia baru lahir. Tapi, walaupun buku-buku yang saya baca itu berbahasa Inggris (buku berbahasa Indonesia untuk anak balita yang berkualitas bagus masih jarang pada jaman itu), saya tetap menggunakan bahasa Indonesia. Kalau di buku itu ada gambar Giraffe, saya akan bilang ‘ini gambar jerapah’ dan bukan ‘this is a giraffe’.
2> Saya mengusahakan –setengah mati tentunya- berbahasa Indonesia yang baik dan benar bila berbicara dengan Hikari (yang waktu itu masih orok), juga bila sedang berada di sekitar dia. Saya juga memaksa Papap melakukan hal yang sama.
3> Saya acap kali memberi pengertian kepada anggota keluarga yang satu rumah dengan kami (termasuk pembantu) untuk bicara bahasa Indonesia yang baik kepada Hikari. Usaha ini termasuk memperbaiki kosakata pengasuh Hikari, mengoreksi kosakata bahasa Eyangnya, dan mengingatkan Papap untuk berkosakata Bahasa Indonesia dan bukannya Betawi.
4> Usaha yang berjalan sejak Hikari baru lahir membuahkan hasil. Hikari lebih cepat bicara daripada berjalan (oke deh, ini sebenernya juga bukan achievement yak?). Pada usia kurang dari 2 tahun kosakatanya sudah banyak dan baik. Pada usia 2.5 tahun dia sudah bisa membuat kalimat yang baik, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, secara struktur dan pengucapan.
5> Ketika saya lihat bahasa Indonesia Hikari sudah baik, saya mulai menggunakan kosakata bahasa Inggris. Ia berusia 2 tahun waktu itu. Bila kami sedang membaca buku, saya akan berkata begini, “Ini Jerapah. Bahasa Inggrisnya Giraffe. Jerapah. Giraffe.” Saya selalu menyebut ‘Bahasa Inggrisnya…” untuk membuat dia mengerti bahwa kata itu ‘berbeda’ dari bahasa yang biasa dia pakai. Sampai usia Hikari 2.5 tahun, bahasa Inggris yang saya berikan ke Hikari hanya berbentuk kata. Saya belum menggunakan satu kalimat lengkap semisal ‘Sit down, please’ sesuai dengan alasan saya nomor 5 diatas; kondisi saya tak bisa menjadikan penggunaan kalimat tadi seotentik mungkin.
6> Ketika kami pindah ke Jepang, usia Hikari 2.5 tahun. Di Jepang, Hikari mendapat exposure bahasa Inggris (di apartment dan dormitory, juga dengan teman-teman Papap) dan bahasa Jepang, tentu saja. Pada saat ini lingkungan kami mendukung penggunaan bahasa Inggris. Maka saya baru menggunakan kalimat dan ekspresi bahasa Inggris secara lengkap kepada Hikari. Dari mulai ‘Sit down, please’ atau ‘Say, thank you’ dsb. Papap tetap dengan bahasa Indonesianya. Hikari sedikit-sedikit bisa menggunakan kalimat/ekspresi yang kami ajarkan tapi dia pun belum fasih/fluent. Untuk bahasa Jepang, kami hanya mengenalkan dia dengan kata/words karena kami sendiri juga tidak fluent. Yang membuat kami tersenyum puas adalah Hikari sanggup memanipulasi bahasa. Dia bisa berkata, ‘Aku melihat Bees disana’. Buat kami, Hikari sudah melek Parts of Speech. Dia tahu harus menaruh kata benda dimana.
7> Kemampuan bahasa Jepang Hikari diasah ketika masuk sekolah di usia 3 tahun pas. Di sekolah ini Hikari tak mendapat penerjemah. Bahasa yang digunakan hanya satu; bahasa Jepang. Satu bulan pertama, Hikari terlihat berusaha menyerap semua bahasa yang dia dengar. Mungkin juga dia sedang berusaha me-make sense bahasa-bahasa tadi. Hasilnya, Hikari seringkali mengganti kata yang dia tidak tahu dengan bahasa planet, yang terdengar seperti orang nggerundel. Hanya saja dia tidak terlihat stress, malah happy-happy saja. Setelah lewat satu bulan, dengan vocab yang lebih banyak, semua kata yang tadinya dia lafalkan seperti bahasa planet sudah diganti dengan kata bahasa Jepang yang benar. Kadang, struktur bahasa masih pakai bahasa Indonesia, tapi dengan vocab bahasa Jepang. Dia memanipulasi struktur bahasa: Dia bisa bilang ‘Aku gohan mau makan’ untuk ‘boku wa gohan tabetai (struktur bahasa Jepang S-O-V bukan S-V-O). Bulan kedua, Hikari mulai lancar berbahasa Jepang. Struktur sampai aksennya pun sudah bahasa Jepang. Sementara, Bahasa Inggrisnya ya masih begitu-begitu saja. Tahu vocab, tahu beberapa ekspresi, tapi tak bisa menggunakan secara aktif. Kami pun membiarkan saja. Paling-paling dia hanya menjawab Yes/No ketika ditanya orang. Buat kami jawaban sekedar Yes/No sudah menunjukkan pemahaman.
8> Ketika pulang ke Indonesia (usia 4 tahun lewat), bahasa Jepangnya sudah sangat fasih. Bahasa Indonesianya –seperti yang kami harapkan dari ‘perjuangan’ sebelumnya- juga tetap baik.
9> Sekarang, Hikari mulai belajar bahasa Inggris intensif karena sekolahnya menerapkan system bilingual. Saya memperhatikan proses penyerapan bahasa asing Hikari lancar-lancar saja. Dia tak kebingungan apalagi stress. Kosakata Inggris bertambah banyak. Bahasa Jepang masih dipakai walau kalau lagi sadar didengar orang dia akan segera tutup mulut. Bahasa Indonesia tetap baik.
Problem yang harus kami hadapi sekarang adalah
1: memberi arahan tentang bahasa slang. Dia boleh saja berbahasa slang (gak mungkin lah kalau gak boleh. Gak realistis namanya) tapi kita saring dan kita jelaskan arti serta penggunaannya.
2: menguraikan kalimat-kalimat bahasa Inggris yang dia dapat dari tivi, film, maupun lagu yang tak jelas terdengar pronunciationnya menjadi satu kalimat/kata yang meaningful. Pengucapan kalimat-kalimat itu seringkali terlalu cepat, sehingga yang terdengar akan seperti noise. Maka ketika Hikari mulai bubbling (misal: ketika Hikari meniru kalimat Spongebob: ‘Look, awacaktach big, wasweswossker, pink, worm’, saya akan mengucapkan kalimat itu kembali pelan-pelan ‘Look, it’s a big, scary, pink worm’ beserta artinya.)
Sekarang, apakah kami puas dengan kemampuan bahasa Hikari? Jelas. Dalam urusan berbahasa Inggris (sebagai bahasa standar penguasaan bahasa asing di negeri ini), Hikari memang sangat tidak selevel dengan anak-anak yang sejak dini disekolahkan di sekolah berbahasa asing atau bilingual. Beberapa orang juga berkata kalau kami terlalu santai dan telah menghilangkan Golden Period Hikari dengan tidak memaksimalkan kemampuannya. Kalau kami terbawa nafsu dan terpengaruh, kami pasti akan panik.
Untungnya kami sadar kalau 3 tujuan utama kami sudah tercapai:
1) Hikari mulai bicara lebih awal (mulai 1.5 tahun) dan tidak mengalami hambatan bicara. Dia juga mampu mengkomunikasikan perasaan dan pikirannya sejak dini. Hal ini sangat signifikan mengurangi dan menghilangkan tantrumnya sejak dini. Kami sungguh bahagiaaaa banget bisa meminimalkan masa tantrumnya.
2) Hikari bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan tetap bisa berbahasa ini walau ada exposure bahasa asing lainnya. Artinya, dengan satu fondasi yang kuat, dia sanggup menyerap yang lain.
3) Hikari tak mengalami gegar bahasa (language shock), yang bisa saja berujung ke gegar-gegar yang lain.
Apakah teori plus praktek yang kami terapkan kepada Hikari benar dan berhasil? Untuk Hikari, jawabannya IYA dan sudah terbukti. Alhamdulillah. Untuk anak anda? Anda yang paling tahu.
Tulisan saya ini sekedar memberi sisi lain dari isu ‘Membuat Anak Multilingual Sejak Dini’. Simpulkan saja tulisan ini dengan:
-> Tidak semua orang tua berusaha membuat anaknya bilingual sejak dini, kok. Contohnya, kami, hehehe…
-> Kalau anak anda juga belum atau malah tidak bilingual sampai sekarang (dalam hal ini berbahasa Inggris ya), tenang saja. Hikari juga tidak. Papap waktu kecil tidak juga. It’s not the end of the world. Jadi, tidak usah panik dan merasa seakan-akan anak anda adalah satu-satunya anak tertinggal dibanding seluruh populasi anak Indonesia.
-> Terlebih dulu, pikirkan dampak positif dan negatif sistem ini. Faktor-faktor pendukungnya, lingkungannya, pengajarnya (hati-hati loh dengan pengajar yang pronunciationnya tak benar), sekaligus juga tujuan anda membuat anak bilingual sejak dini. Kalau anda memang berencana mengirim anak anda belajar keluar negeri pada usia sekolah dasar atau high school, silahkan genjot kemampuan bahasa Inggrisnya (dan mengesampingkan kemampuan bahasa Indonesianya? Enggak kan?).
Terutama yang harus jadi bahan pemikiran: anak anda sanggup?!
-> Yang penting adalah APAPUN bahasa yang harus dikuasai si anak, PASTIKAN si anak menguasainya dengan BAIK. PENTING INI!
Tulisan asli ada disini.
Read More..