Saturday, June 16, 2007

Cerita Hikari

- Hikari lahir normal, tapi harus divakum berat. Itupun setelah tiga kali vakum baru berhasil. Tidak jelas apa penyebabnya. Saya sendiri sudah hampir pingsan setelah mendapat 2 kali suntikan perangsang kontraksi. Setelahnya, Hikari harus menginap di inkubator selama 10 hari tanpa bisa digendong karena kulit kepalanya luka.

- Hikari bukan bayi yang anteng. Selama 3 bulan pertama, dia sering bangun malam dan menangis tak henti. Kami sampai hilang akal untuk mendiamkannya. Setelah 3 bulan, dia juga sangat sensitif, secara emosional, terutama, kalau saya -mamamya- juga sedang emosional.

- Usia 3 bulan, setelah imunisasi DPT pertama, daya tahan badan Hikari menjadi rentang. Dia mulai sakit-sakitan. Badannya mengurus, nafsu makan berkurang drastis, alergi berat terutama kepada sea food. Pada usia 1 tahun, baru ketahuan kalau dia menderita immuno deficiency, kerentanan pada sistem kekebalan tubuh. Tingkat sensitifitas/alergi-nya juga tinggi, melebihi level normal orang dewasa. Dan, menurut dokter yang merawatnya, Hikari tidak tahan pada beberapa bahan dalam vaksin. Sejak itu Hikari berhenti diberi vaksin.

- Hikari baru bisa berjalan usia 16 bulan. Terlambat, kata banyak orang. Tapi, usia 17 bulan, dia tiba-tiba bisa berseru lantang dan jelas, "Gajah". Semua orang kaget. Apalagi setelah itu, kemampuan bahasanya berkembang lebih pesat dari kemampuan berjalannya.

- Hikari itu accident prone. Kalau berlari satu meter, belum sampai satu meter pasti jatuh. Kalau berjalan, pasti kakinya nyenggol kaki meja atau kursi, lalu jatuh. Orang-orang tua bilang ini karena dia a late walker. Konsultasi dokter tentang kemungkinan kelainan pada indra penglihatannya, memberi hasil negatif.

- Hikari punya daya imajinasi sangat tinggi, terutama sejak dia bisa berbicara. Kami pikir karena dia senang pada buku. Hikari juga mampu mengingat dengan detil setiap cerita yang dibacakan kepadanya.

- Kemampuan mengingatnya yang tinggi membuatnya mampu mengingat sesuatu sampai kebagian yang paling detil. Suatu cerita, gambar, film, suasana, tempat, wajah orang, semua bisa diingat dengan sangat baik.

- Hikari sangat-sangat aktif. Dia bisa seharian berlari, berlompatan, berguling-guling, dan sebagainya, tanpa merasa capek. Orang-orang disekitar kami berpikir dia hiperaktif. Beberapa bahkan menyebutnya dengan ADD (Attention Deficit Disorder).

- Hikari sangat senang main balok atau Lego. Dia mampu merakit Lego menjadi suatu bentuk yang impresif (untuk anak seusianya), tanpa melihat manual book. Dia sanggup bermain balok atau Lego selama berjam-jam. Beberapa orang kemudian melabeli dirinya dengan Autis.

- Usia 2 tahun, Hikari mulai sekolah di play group, yang ternyata tak bisa membuatnya diam. Di play group itu dan disekolah TKnya yang sekarang, tingkah laku yang sama terlihat: tidak bisa duduk diam, cenderung memisahkan diri dari kelompok, tidak betah pada kegiatan belajar yang duduk-menyimak-menghafal. Tapi, dia terlihat menikmati kegiatan outdoor. Tingkah lakunya ini tidak terlihat pada saat Hikari sekolah di Jepang (usia 3-4.5). Menurut pengamatan kami, ini terjadi karena di Jepang (TK), kegiatan indoor tak pernah berlangsung lebih dari satu jam. Pelajaran indoor selalu diselingi dengan kegiatan outdoor. Materi pelajaran juga selalu hands-on dan real-life.

- Hikari anak yang sensitif. Dia bisa merasakan emosi orang-orang di dekatnya.

- Hikari juga cenderung untuk "act first, think later".

- Gurunya di TK A mengeluhkan Hikari yang dirasakan kurang involved di kelas, tak mau duduk diam, dan tak tertarik pada caranya mengajar. Guru ini meminta kami untuk mengubah cara belajar Hikari. Catat: Mengubah Cara Belajar (dan bukan mengubah CaraNYA MEngajar).

- Usia hampir 5 tahun, psikolog sekolah (Indonesia) mendeteksi Hikari sebagai Right-Brained. Semua tingkah lakunya yang dilabeli orang sebagai ADD atau Autis, ternyata adalah ciri-ciri dari anak Right-brained.

- Berdasarkan hasil dari observasi 3 psikolog (1 psikolog dari kami, 1 dari luar sekolah atas permintaan sekolah, 1 dari sekolah), kemampuan akademis Hikari dinyatakan diatas rata-rata. Rekomendasi dari ketiga psikolog adalah dia (dan teman-temannya) mendapatkan cara pengajaran yang tepat. Rekomendasi ini kami berikan ke kepala sekolah. Pihak sekolah kemudian memberikan training dua hari tentang different learning styles kepada guru-gurunya.

- Teori brain dominance (Jeffrey Freed, MAT) mengatakan, kontinum Otak Kiri-Kanan itu sebagai berikut:
1) pada sisi paling kiri sekali adalah orang-orang penderita schizophrenia.
2) pada sisi kiri setelah penderita schizophrenia adalah otak dari orang-orang (sebagian besar) akademis atau guru-guru. Tidak heran bila dunia akademis (sekolah) itu didesain secara left-brained.
3) pada sisi tengah, orang-orang yang mempunyai whole-brained dominance. Orang-orang ini unggul karena mampu menggunakan kedua bagian otaknya secara seimbang.
4) pada sisi kanan, setelah whole-brained, adalah orang-orang yang right-brained, (terutama) para arsitek, desainer, dan kreator yang lain.
5) pada sisi ke kanan lagi, adalah orang-orang penderita ADD.
6) lebih ke kanan lagi, adalah orang-orang penderita Dyslexia.
7) paling kanan dari kontinuum, adalah orang-orang penderita Autism.
(Right-brained children in a left-brained world: Jeffrey Freed, MAT. Page 52)

- Hikari berada di kelompok nomor 4. Tugas kami sekarang adalah memastikan kalau dia bisa survive di dunia pendidikan yang di desain untuk anak-anak berotak kiri. Termasuk juga, memberi pendidikan kepada orang awam tentang anak-anak dengan learning style berbeda.

2 comments:

Anonymous said...

Mbak .. thanks for sharing ya *hugs*

davidnana.blogspot.com said...

Emosional ibu dan anak itu biasanya akan sama...
"katanya" kalo menyusui dengan ASI, jika si ibu sedang emosional, anaknya jg akan sama emosionalnya (=rewel)..