Waktu Hikari berumur 1.5, Eyang Uti-nya sibuk membujuk saya dan Papap untuk menyekolahkan Hikari ke Playgroup. Tapi, saya masih belum tertarik untuk menyekolahkan anak itu. Saya juga tidak melihat satupun alasan yang membuat saya harus mengirimnya ke sekolah. Sosialisasi? Di lingkungan rumah kami tidak kurang banyaknya teman sebaya. Mainan? Di rumah banyak mainan! Belajar? Aih, anak bayi belajar apa? Saya bisa mengajarinya sendiri di rumah. Saya punya banyak resources untuk mengajari anak di rumah. Namun, saya akhirnya mengalah.
Akhirnya, pada umur 2 tahun, Hikari resmi sekolah.
Hikari sekolah disitu sampai umur 2.5 tahun, sebelum kami berangkat menyusul Papap. Bagaimana kabar Hikari di sekolah? Selain urusan mainan yang memang lebih banyak di sekolahnya, saya masih berpendapat dia tidak perlu disekolahkan. Hikari, di umurnya yang masih piyik, jelas tidak bisa duduk diam. Di saat temannya yang lain duduk anteng dibacakan buku oleh gurunya, dia akan sibuk dengan mainannya dan menolak untuk mendengarkan gurunya bercerita.
Teori awal yang menyebutkan Hikari sekolah untuk bersosialisasi juga tidak terbukti. Definisi sosialisasi anak umur 2 tahun adalah I play with my toys, you play with yours. Don't mess with mine! Hikari juga paling anti disuruh mewarnai. Yang jelas, dia memang belum 'bisa' memegang krayon. Yang dia mau, hanya bermain: mobil, perosotan, pasir, puzzle, balok, dll dsb atau merawat binatang peliharaan sekolah: kasih makan kelinci, ikan, ayam, bebek, dan burung. Di luar itu, dia tidak bisa kooperatif untuk duduk diam di meja.
Sebenarnya, hal ini agak tidak biasa, karena kalau di rumah, justru dia yang akan merayu saya untuk membaca buku dan sanggup duduk diam berlama-lama melihat-lihat bukunya. Hmm...
Umur sekolah Hikari di Jakarta hanya 6 bulan. Setelah itu kita pindah ke Jepang. Di sini, Hikari belum bisa diterima di TK karena belum cukup umur: usia masuk TK adalah 3 tahun. Dibawah usia itu harus masuk Nursery School yang tidak mendapat bantuan uang sekolah. Pendaftaran sekolah di Jepang adalah bulan April, sementara pada April 2005 usia Hikari baru 3 tahun kurang 3 bulan. Kurang 3 bulan saja (!) tapi sekolah tetap tidak menerima Hikari. Hikari baru boleh masuk saat usianya 3 tahun 1 hari! Hikari ulang tahun bulan Juli akhir, tapi pada saat yang sama akhir Juli sampai akhir Agustus, sekolah libur. Jadilah Hikari masuk sekolah bulan September awal di usianya yang 3 tahun 1 bulan.
Entah karena perbedaan cara mengajar, atau karena umurnya yang memang lebih 'tua', perkembangan Hikari di sekolahnya yang baru maju jauh lebih pesat. Dalam jangka waktu 2 bulan saja Hikari berubah menjadi lebih mandiri dan bertanggung jawab. Beberapa hal saja, dia bisa dan mau duduk diam bila sedang mengerjakan sesuatu dan mempunyai rentang perhatian yang lebih lama. Dia juga tahu kapan waktu untuk bermain dan kapan waktu untuk melakukan hal yang lain, seperti membaca buku atau menggambar. Dan... dia sekarang senang mewarnai dan sudah bisa menggambar!
Umur sekolah Hikari di Jakarta hanya 6 bulan. Setelah itu kita pindah ke Jepang. Di sini, Hikari belum bisa diterima di TK karena belum cukup umur: usia masuk TK adalah 3 tahun. Dibawah usia itu harus masuk Nursery School yang tidak mendapat bantuan uang sekolah. Pendaftaran sekolah di Jepang adalah bulan April, sementara pada April 2005 usia Hikari baru 3 tahun kurang 3 bulan. Kurang 3 bulan saja (!) tapi sekolah tetap tidak menerima Hikari. Hikari baru boleh masuk saat usianya 3 tahun 1 hari! Hikari ulang tahun bulan Juli akhir, tapi pada saat yang sama akhir Juli sampai akhir Agustus, sekolah libur. Jadilah Hikari masuk sekolah bulan September awal di usianya yang 3 tahun 1 bulan.
Entah karena perbedaan cara mengajar, atau karena umurnya yang memang lebih 'tua', perkembangan Hikari di sekolahnya yang baru maju jauh lebih pesat. Dalam jangka waktu 2 bulan saja Hikari berubah menjadi lebih mandiri dan bertanggung jawab. Beberapa hal saja, dia bisa dan mau duduk diam bila sedang mengerjakan sesuatu dan mempunyai rentang perhatian yang lebih lama. Dia juga tahu kapan waktu untuk bermain dan kapan waktu untuk melakukan hal yang lain, seperti membaca buku atau menggambar. Dan... dia sekarang senang mewarnai dan sudah bisa menggambar!
Kemudian, saya menemukan satu buku berjudul Raising Boys karangan psikolog Australia terkenal, Steve Biddulph. Saya pernah membaca bukunya yang lain, and I loved it. Simple aja alasannya: karena apa yang dia kemukakan masuk akal, ilmiah, dan tidak mengada-ada. Maksudnya, advice dia pada orang tua benar-benar down-to-earth tidak seperti banyak buku parenting yang lebih banyak bikin saya merasa gagal jadi ortu hanya karena tidak mampu tetap tersenyum manis dan penuh kasih setiap kali anak saya tantrum :(
My personal opinion? Hebat! Steve benar-benar membuka mata saya dan Papap tentang seorang anak laki-laki! Psikolog ini menjelaskan hubungan antara hormon anak laki-laki yang berkaitan dengan 'kelakuannya', ia juga memaparkan risetnya, dll dsb.
Ada satu topik yang sungguh tidak bisa saya lupakan dari buku ini, mengenai When Boys Should Start School. Yang kutipannya seperti ini...
Hal 12: EARLY CHILDCARE IS NOT GOOD FOR BOYS
If at all possible, a boy should stay home with one of his parents until age three. Childcare of the institutional kind -such as large childcare centers- does not suit boys' nature during these very early years. Many studies have shown that boys are more prone than girls to separation anxiety and to becoming emotionally shut down as a result of feeling abandoned. Also a boy of this age can develop restless or aggressive behavior in childcare and carry this label, and the role that goes with it, right on into school.
Hal 68: STARTING SCHOOL - Why Boys Should Start Later
Hal 68: STARTING SCHOOL - Why Boys Should Start Later
At the age of six or seven, when children start serious schooling, boys are six to twelve months less developed mentally than girls. They are especially delayed in what is called 'fine-motor coordination', which is the ability to use their fingers carefully and hold a pen or scissors. And since they are still in the stage of 'gross-motor' development, they will be itching to move their large muscles around, so they will not be good at sitting still.
In talking to heads of infant departments.... , the same message comes through: 'Boys should stay back a year'. It's clear that all children should attend kindergarten from around five years of age, since they need the social stimulation and wider experiences it provides. But the boys should stay there longer -up to a year longer in some cases. For most, this would mean they move through school being a year older than the girl in the next desk. Which also means that they are, intellectually speaking, on par.
Eventually boys catch up with girls intellectually but, in the way school work now, the damage is already done. The boys feel themselves to be failures, they miss out on key skills because they are just not ready, and so get turned off from learning. In early primary school, boys (whose motor nerves are still growing) actually get signals from their body saying, 'Move around. Use me'. To a stressed-out first grade teacher, this looks like misbehavior. A boy sees that his craft work, drawing and writing are not as good as the girls', and thinks, "This is not for me!". He quickly switches off from learning, especially if there is not a male teacher available. "School is for girls", he tells himself.
Membaca buku ini membuat saya dan Papap berlomba menghitung umur Hikari. Akhirnya kami sudah sepakat, kalau mungkin, untuk memasukkan Hikari ke SD di usianya yang lebih dari 6 tahun. Dan, sama sekali tidak kurang. Alasannya, bukan semata-mata karena percaya 100% dengan buku ini, tapi kami sudah mempunyai cukup banyak contoh baik/buruk disekeliling kami. Bahkan kami mempunyai contoh di kerabat dekat kami sendiri, yang masuk sekolah terlalu awal ataupun yang masuk sekolah usia 7 tahun. Buku ini hanya sekedar menjadi referensi ilmiah 'kenapa'-nya. Sekarang ini kami sedang memikirkan 'bagaimana'-nya.
Papap sudah mengingatkan bahwa mungkin keputusan kami tidak populer. Bukankah di Indonesia, anak yang masuk sekolah lebih awal 'dianggap' lebih pintar? Belum lagi 'mengajarkan' kepada orang-orang bahwa less-developed mentally bukan berarti less-developed intellectually. Anak pintar tidak berarti mature. Anak yang mature, saya percaya, lebih bahagia dibanding... yang tidak mature, tentunya :)
catatan: kutipan diatas sudah pernah di-share di Blogfam dan Dunia Ibu. Tulisan ini aslinya ditayangkan disini.
Membaca buku ini membuat saya dan Papap berlomba menghitung umur Hikari. Akhirnya kami sudah sepakat, kalau mungkin, untuk memasukkan Hikari ke SD di usianya yang lebih dari 6 tahun. Dan, sama sekali tidak kurang. Alasannya, bukan semata-mata karena percaya 100% dengan buku ini, tapi kami sudah mempunyai cukup banyak contoh baik/buruk disekeliling kami. Bahkan kami mempunyai contoh di kerabat dekat kami sendiri, yang masuk sekolah terlalu awal ataupun yang masuk sekolah usia 7 tahun. Buku ini hanya sekedar menjadi referensi ilmiah 'kenapa'-nya. Sekarang ini kami sedang memikirkan 'bagaimana'-nya.
Papap sudah mengingatkan bahwa mungkin keputusan kami tidak populer. Bukankah di Indonesia, anak yang masuk sekolah lebih awal 'dianggap' lebih pintar? Belum lagi 'mengajarkan' kepada orang-orang bahwa less-developed mentally bukan berarti less-developed intellectually. Anak pintar tidak berarti mature. Anak yang mature, saya percaya, lebih bahagia dibanding... yang tidak mature, tentunya :)
catatan: kutipan diatas sudah pernah di-share di Blogfam dan Dunia Ibu. Tulisan ini aslinya ditayangkan disini.
6 comments:
apa banyak di sekelilingmu yg menunjukkan kalo anak laki sebaiknya di sekolahkan dlm usia yg lbh tua dr standarnya, sampai2 Hikari akan disekolahkan SD stlh 7th?
Aku gak berpikir sampai segitu, tp kalo utk play group sih, apapun kata org, aku gak akan masukin anak2 sblm usia 4th, setidaknya 3th kalau utk belajar sekolah atau anaknya yg minta.Dan memang itu yg terjadi.
Anak sulungku, play group umur 3th utk nambah byk teman meski dia gak ada kesulitan berkawan. Begitu kls O kecil selesai, dia gak mau ke kls O besar tp maunya lsg ke SD dan skrg justru minta sendiri utk masuk kelas akselerasi di SMP. Prestasinya gak mengecewakan meski tdk serajin anak perempuan.
Yg bungsu, masuk play group jg 3 th, tp dia sekolah normal ( gak loncat kelas)dlm jenjangnya. Kls.2 SD kmrn, dia yg minta tes utk ikut akselerasi krn terpacu pengen spt kakaknya. Meski gak ketrima di aksel dan sedih, tp dia bisa nerima alasannya. Dan hasil raportnya kmrn cukup memuaskan meski tdk ranking 1 (aku jg gak minta maksa anak2 utk ranking 1). Sebelumnya ada ponakanku jg yg msk sekolah dlm usia normal, loncat2 kelas dan skrg sdh S2 di Tokyo dgn prestasi sangat bagus dgn beasiswanya. Mereka semua laki2 dan secara mental juga cukup mature dlm usianya. Ini bukan mau pamer2an Dev, tapi jgn2 Hikari hanya satu kasus. Bukan yg ADD dan semacamnya, tp dia sangat...apa sih namanya...self-determinated apa ya? Mau menunjukkan apa yg mau dikerjakannya bener2 tanpa mau didikte oleh org ataupun aturan, hanya saja dia gak bisa mengungkapkan. Dan ini nurut aku malah menunjukkan bahwa dia cukup mature, tau apa yg dia mau. Kapan dia mau main, kapan dia mau sekolah.
sorry ya Dev, jd ikut ngeblog disini...lha tulisanmu gak bisa dikomen singkat sih...
Mbak Endang, thanks atas sharingnya. I need it, very much. (eh, maap. no english yak)
Sekolah diatas umur 7? Bukan, Mbak. Poinku adalah tidak menyekolahkan dia (SD) dibawah umur 6. Pas, boleh, lebih apalagi, tapi tidak kurang. Alasannya: ya itu yg ditulis dipost. Sebetulnya, aku ingin bilang kepada ortu supaya tidak tergiur utk cepat2 memasukkan anak mereka ke sekolah formal. Kasian anaknya. Belum waktunya jam main mereka dipotong.
Sebaliknya, setiap anak itu unik. Untuk anak2 yang high achiever, spt si sulungnya Mbak Endang, dia akan depresi kalau ditahan di kelas yg sdh tdk menantang. Tapi, anak seperti ini berapa persen sih di dunia? Mayoritas kan ya yg biasa-biasa ajah.
And, yak, Hikari tidak ADD. Dia memang Right-brained, tapi tidak ADD atau malah autis (saya sampe males jawabin komen iseng orang2 ttg ini). Dan salah satu ciri anak ADD memang imaginatif. Gak bisa itu disuruh duduk diam di kelas konvensional dng cara pengajaran konvensional. Nah, emaknya kan yang mabokkkk...
koreksi: salah satu ciri anak RIGHT-BRAINED adalah imajinatif
heheheh....maaaaap ampe bikin speechless...
Oh, kalo maksudnya tdk memasukkan sekolah sblm waktunya, aku di barisanmu say. Sepanjang, memang anaknya tdk membutuhkan yg lbh cepet.
Bener, anak yg high achiever itu cuma segelintir. Dan kalo dpt anak itu ya kyk dpt undian berhadiah. Maksudku sih, utk bilang kalo masukin anak laki sekolah pada usia standar is okay. Akunya aja yg salah ngartiin maksudmu.
Soal ADD...biarin ajalah, mgkn yg ngomong gitu yg mulutnya hiperaktif...heheheheh......
Sebenernya, anakku yg bungsu jg gitu lho, suka silat2an sendiri, perang2an sendiri dan dr mulutnya ada aja bunyi2an seolah itu suara pesawat, suara tebasan pedang atau dialog antar 2 org yg duel. Aku asik2 aja liat dia, sambil mbayangin betapa di kepalanya itu pasti tergambar sebuah skenario atau malah sebuah film dgn dia sendiri sbg bintangnya...kalo capek, ya dia tidur...
Eh Mbak .. orang2 manggilnya mbak Devi ya?
Itu bukunya menarik sekali. Saya sependapat ... soalnya ngeliat sekeliling emang anak laki dewasanya lebih lambat dari pada anak perempuan. Joseph lahir Nov, so ntar dia masuk TKnya harus nunggu tahun berikutnya .. saat dia udah umur 5 tahun 10 bulan .. dan saya sih seneng2 aja krn sampe sekarang si Jo emang doyannya maen aja.
Di negara skandinavia, mereka baru ngajarin baca tulis pas umur 7-8 tahun. Saya dulu TK-awal SD di Belanda dan masuk sekolah Belanda .. dan mereka baru ngajarin baca tulis di kelas 1 SD di mana murid2nya rata umur 6-7 tahun. Saat sekolah pra sekolah dan TK, murid2 di sana ditekankan untuk sosialisasi, maen sambil belajar, dan motorik.
Mgn playgroup .. emang bener ya anak akan maen berkelompok tanpa saling interaksi sampe dia kira2 umur 2-2.5 tahun. Tapi si Jo udah saya masukin part time day care *1 minggu 2 kali*sejak umurnya 8 bulan ... sampe sekarang preschoolnya pun masih di day care itu dan tetep 1 minggu 2 kali. *Oh ya day care kalau di sini bukan hanya penitipan anak .. sejak bayi pun mereka udah ada aktifitas positif untuk anak2 asuhan mereka*. Tujuan kita dulu masukin dia day care supaya Jo mulai terekspos ke bahasa inggris secara aktif. Krn saya dan Nico biarpun saling komunikasi dgn inggris, tapi tidak bicara inggris ke Jo. Kita mau menghindari si Jo kaget by the time si dia masuk preschool *umur 3 tahun*. Dan ini works out banget. Krn dia trilingual, dari 0-1 tahun dia menyerap dan mulai bicara bhs ibu *bhs Ind*, 1-2 tahun bahasa prancisnya keluar, dan baru pas dia umur 3 tahun si Jo mulai aktif bicara Inggris. Dan itu 3-3 bahasa diajarkan secara bersamaan.
So point saya adalah: biarpun anak2 bayi-pra sekolah nampaknya main2 saja di sekolah, tetap ada hasilnya walopun hasilnya tidak langusng terlihat. Kalau si Jo tidak kita masukin ke day care/sekolah sejak umur 8 bulan, waktu umur 3 tahun kemaren dia di preschool, yg ada dia akan berjuang lebih berat untuk mengejar bahasa inggrisnya dia. Sekarang pun bhasa inggrisnya dia masih ketinggalan dibandingkan Ind dan prancisnya, tapi terlihat bahwa dia cepat sekali mengejar ketinggalannya itu.
Post a Comment