Thursday, June 21, 2007

The Left-Right Brain Continuum -Part 1

I didn't belong as a kid, and that always bothered me. If only I'd known
that one day my differences would be an asset. Bette Midler



I'm reading Jeffrey Freed's book: Right-brained children in a left brained world at the moment. Not finished yet. There is some kind of a quiz that can very much tell you if your children are left-, right-, or whole brained. This quiz is for children ages 5-13.

Page 49: Learning Styles Inventory
1. Is your child extremely wiggly?
2. Does your child have difficulty with coloring or handwriting?
3. Was your child a late walker?
4. Is your child extremely sensitive to criticism?
5. Does your child have allergies or asthma?
6. Is your child good with building toys, such as Lincoln Logs, Legos, and Tinker Toys?
7. Is your child good at puzzles and mazes?
8. If you read a book to your child two or three times, is s/he capable of filling in missing words with almost perfect recall?
9. Is it extremely important that your child like his or her teacher in order to do well in class?
10. Is your child easily distracted, or does he daydream a lot?
11. Is your child unable to consistently finish tasks?
12. Does your child tend to act first and think later?
13. Do you have to cut labels out of your child's clothes? Does he only want to wear clothing that's especially soft and well worn?
14. Is your child overwhelmed at sporting events, loud parties, amusement parks?
15. Does your child tend to shy away from hugs?
16. Does your child need constant reminders to do certain things?
17. Is your child extremely competitive and a poor loser?
18. Does your child have a good sense of humor? Does he have a better-than-average ability to understand and create puns?
19. Is your child a perfectionist to the point that it gets in the way of trying new things?
20. Can your child recall a summer vacation or other event from one or two years ago in vivid details?

The more Yes responses you have, the more to the right your child will be.
0-4: yes answers indicate your child is very left-brained.
5-8: somewhat left-brained.
9-12: whole-brained.
13-16: somewhat right brained.
17-20: very right-brained.

Hikari's score is 15.

Read More..

Learn to Read

Sejak Hikari 'dicurigai' ber-dominan otak kanan, saya dan Papap kemudian mengerti mengapa dia seperti tidak bisa melihat 'urutan logika' pada Alfabet. Alphabet and alphabetical order don't make sense to him.

Bila anak lain dengan enteng tak banyak cingcong melahap A, B, C, D... sesuai urutan, Hikari malah mempertanyakan mengapa harus B setelah A.

Bila saya ajarkan dia membaca dengan metode suku kata seperti: D-A=Da/D-I=Di/Da-Di, Hikari akan balik bertanya, "Dadi itu apa, Ma?"

Bila saya ajarkan metode 5 kata satu hari, selama beberapa hari, dia akan mengerutkan dahinya dan dengan sopannya berkomentar, "aku capai".

Bila Papap sampai turun tangan duduk di sebelah Hikari dan menyuruhnya mengeja pelan-pelan, Hikari akan memeluk Papap sambil meringis, "aku sakit perut."

Saya dan Papap percaya sepenuh hati kalau umur 4.5 tahun memang belum berkewajiban untuk bisa membaca, walaupun dunia kecil disekitar kami tampaknya tidak percaya pada hal yang sama. Kami berusaha menulikan suara-suara 'si A sudah bisa membaca lancar umur 4 tahun' atau 'si B ikut rapid reader dari umur 3' atau 'Bunda, tolong diulang belajar alfabetnya di rumah'. Agak susah. Apalagi bila ada si C yang jadi sepupu pembanding di dekat kami. Pertanyaan 'kenapa ya dia gak bisa seperti si C' sering muncul.

Pasca diagnosa, saya berusaha mencari informasi apa yang harus dilakukan. Kalau metode pengajaran konvensional tidak bisa dipakai, something's got to be done. Saya pun berakrobat.

Lupakan buku-buku belajar membaca konvensional. Saya hanya butuh kalender bekas, sedotan dan spidol. Saya bentuk kalender bekas menjadi berbentuk ikan, tempel sedotan untuk pegangan, dan saya tulis satu suku kata di badan ikan. Sekarang Hikari punya ikan bernama Ba, Bi, Bu sampai Za, Zi, Zo.

Sejak punya mainan alfabet ikan keadaan menjadi berbalik. Sekarang Hikari yang akan memaksa saya untuk 'Main Ikan'. Kalau begitu saya akan pegang beberapa ikan, dan bercerita dengan gaya yang bikin orang dewasa bergegas mencari earplug. "Ikan Ba, Co, dan Gu sedang mencari rumput laut! Dibaca jadi apa ini, Ri?" yang langsung dijawab cepat oleh Hikari 'Bacogu!'. Gosh, he can see the order now!

Berhari-hari kami bermain ikan, walau ada progress, Hikari toh masih belum terlihat mau membaca lebih dari dua suku kata.

Tadi, malam, Papap mengajak kami ke supermarket di depan komplek. Pulangnya, kami mampir di tukang fotokopi yang kiosnya bersebelahan dengan tenda tukang nasi goreng. Hikari duduk ngejogrok di atas batu di depan kios. Tidak mau pindah. Diaaammm saja. Setelah 15 menit, dia berteriak kencang, "MAMAAAA!!! AKU BISA BACA ITU!" Jari telunjuknya menunjuk tenda si tukang nasi goreng. "ITU BACANYA NA-SI-GO-RE-ENG!"

Akhirnya...


This post was first published here.

Read More..

To Be Bilingual

Tadi pagi saya menonton acara tivi dengan presenter Ferdi Hasan dan Rieke Dyah. Salah topik hari ini adalah “pengajaran bahasa asing untuk anak-anak”. Sepertinya topik begini sudah jadi topik umum di jaman sekarang, ya? Agak berbeda jaman saat Hikari baru lahir dulu.

Di liputan itu, diperlihatkan beberapa sekolah pra-SD yang punya kurikulum bilingual maupun total English. Lalu ada dua orang narasumber yang berbicara tentang pengalaman anak-anak mereka dengan multi languages. Ini dia yang membuat saya tergerak untuk menulis isu multilingual learners, sekaligus menjawab pertanyaan banyak orang kepada saya tentang Hikari dan pengalamannya bersinggungan dengan bahasa asing di umur semuda ini (sekarang 4 tahun).

Ibu pertama, punya dua anak; sulung laki-laki usia 4 tahunan, kedua perempuan usia 3 tahunan. Ibu ini memasukkan kedua anaknya ke sekolah berbahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Di rumah, kedua anaknya juga berbahasa Inggris. Yang terjadi adalah si sulung berbicara dalam bahasa campuran, cenderung acak-acakan, dan seringkali dengan gesture. Tapi si ibu dengan optimis berkata kalau sejalan dengan umur, si sulung akan bisa melewati periode bahasa acak-acakan ini.

Ibu kedua anak pertamanya, perempuan, harus dibawa ke psikolog dan diterapi karena tak juga bicara. Latar belakangnya, pada usia masih toddler dia dibawa ke Jepang selama 3 tahun. Disana –walau tidak sekolah- si anak bersinggungan dengan bahasa Indonesia, Jepang, dan Inggris. Persis Hikari. Ketika mereka kembali ke Indonesia, si anak ditolak masuk sekolah manapun karena disangka autis. Gara-garanya anak ini hanya bisa bahasa bubbling, tak ber-‘kata’, hanya suara tak jelas –dia menyebutnya bahasa planet. Sang ibu pun kapok dan trauma dengan soal multilingual ini.

Lalu, bagaimana dengan Hikari dan bahasa asing? Sebagai seorang guru bahasa Inggris, tekanan dari orang lain terhadap saya untuk membuat Hikari langsung bisa berbahasa Inggris sejak lahir sangat tinggi! Tapi, justru saya yang menolak membuat Hikari bilingual sejak bayi. Kami, saya terutama, justru ingin membuat Hikari berbahasa Indonesia yang baik dan benar sampai ke titik komanya.

Alasannya: 1) Saya prihatin melihat murid-murid saya yang -berbahasa Inggris tentu masih susah-berbahasa Indonesia yang baik pun tak bisa. Banyak penelitian menyebutkan bila seseorang tak mampu berbahasa yang baik, orang itu juga tak bisa berlogika (mengambil kesimpulan) yang runtut, apalagi menyampaikan hasil pikirannya dengan jernih dan runtut. Ini alarm pertama saya.
2) Berdasarkan referensi-referensi yang saya baca itu, saya mengambil kesimpulan bahwa Hikari harus menguasai satu bahasa dulu dengan baik. Daaannn karena kami orang Indonesia, juga karena kami tak punya rencana ambisius untuk mengirim Hikari sekolah ke luar negeri (ambisius, karena buat makan sehari-hari aja masih mikir. Ini alarm kedua saya.), SATU bahasa yang harus dikuasai benar oleh Hikari adalah tentu saja Bahasa Indonesia dong.
3) Poin ketiga ini terus terang 'teori' saya pribadi. Saya berteori kalau Hikari sudah menguasai satu bahasa dengan baik dan benar, dia akan lebih cepat menyerap bahasa asing. Landasan teori saya, kalau Hikari sudah paham -tanpa sadar, tentunya- struktur satu bahasa, dia hanya tinggal memanipulasi struktur bahasa itu dengan kosakata bahasa asing. Tentu, grammar tiap bahasa berbeda, tapi kan yang diperlukan oleh seorang anak kecil yang first learner adalah vocab. Menurut saya.
4) Saya juga sering mendengar, melihat, dan mengalami sendiri anak-anak yang menjadi 'silent' akibat multi languages exposure yang dia terima. Anak-anak ini ada yang tak bisa 'bicara' (hanya bubbling, noise tanpa arti) sampai usia SD sehingga mengalami stress dan butuh terapi. Beberapa orang optimis bilang silent period ini hanya sementara, toh nantinya si anak akan langsung berbicara dalam lebih dari dua bahasa atau lebih. Maksudnya, diam sebentar tapi langsung nyerocos dua sekaligus. Maaf, saya tak mau ini. Saya memilih anak saya tertunda kemampuannya berbahasa asing, daripada dia mengalami silent period dan tak bicara sama sekali. Siapa yang jamin silent period ini akan berakhir dalam sebulan, dua bulan, setahun? Lalu selama periode itu, bagaimana anak saya mengkomunikasikan perasaannya, pikirannya? Bagaimana? Dengan tantrum? Ini alarm ketiga saya.
5) Saya tak bisa menyediakan lingkungan yang suportif dan otentik buat Hikari untuk ber-bilingual. Teorinya, seorang anak akan lebih cepat (dari segi penyerapan dan hilang kebingungannya) berbahasa asing bila lingkungan sehari-harinya mendukung. Orang tua harus selalu berbahasa asing dengannya sehingga pemakaian bahasa asing ini menjadi wajar, seperti di negeri asalnya. Duh, penghuni rumah saya sih memang multilingual, tapi Inggris bukan salah satunya. Saya menyadari betul keterbatasan kami ini. Ini alarm keempat.
6) Berdasarkan pengalaman, saya tak terlalu rusuh ingin meng-Inggris-kan Hikari sedini mungkin. Kata Papap, dia juga baru belajar bahasa Inggris pas SMP kok. Toh, sekarang dia bisa juga menguasainya. Terdengar menyepelekan? Ah, enggak. Hanya mencoba realistis. Lagipula, saya, walaupun mendapat exposure dari bapak saya yang bicara tiga setengah bahasa (pakai setengah, soalnya yang bahasa Arab cuma bisa baca tulis gak bisa ngomong hehehe), juga tak mendapat pengajaran bahasa Inggris khusus sejak kecil. Sistem bapak saya adalah sambil lalu sambil ngobrol sambil main, nanti juga nyangkut. Berdasarkan pengalaman kami berdua itu, kami pun yakin Hikari akan baik-baik saja walau tak bilingual sejak orok.
7) Kemampuan Bilingual berarti kemampuan bicara dalam dua bahasa dengan sama baiknya. Hanya saja saat ini banyak sekolah yang justru menitik beratkan pada bahasa Inggris. Akibatnya, si anak hanya bisa berbahasa Inggris, dan malah tidak bisa berbahasa Indonesia. Jadi tidak ada bedanya antara anak Indonesia biasa dengan anak ini. Keduanya sama-sama bisa satu bahasa saja. Si anak yang berbahasa Inggris tidak menjadi bilingual speaker mengingat kemampuan bahasa Indonesianya juga pas-pasan.

Setelah alasan-alasan kami itu terkumpul dan terkomunikasikan dengan baik, ini lah yang terjadi:
1> Saya membacakan buku untuk Hikari sejak dia baru lahir. Tapi, walaupun buku-buku yang saya baca itu berbahasa Inggris (buku berbahasa Indonesia untuk anak balita yang berkualitas bagus masih jarang pada jaman itu), saya tetap menggunakan bahasa Indonesia. Kalau di buku itu ada gambar Giraffe, saya akan bilang ‘ini gambar jerapah’ dan bukan ‘this is a giraffe’.
2> Saya mengusahakan –setengah mati tentunya- berbahasa Indonesia yang baik dan benar bila berbicara dengan Hikari (yang waktu itu masih orok), juga bila sedang berada di sekitar dia. Saya juga memaksa Papap melakukan hal yang sama.
3> Saya acap kali memberi pengertian kepada anggota keluarga yang satu rumah dengan kami (termasuk pembantu) untuk bicara bahasa Indonesia yang baik kepada Hikari. Usaha ini termasuk memperbaiki kosakata pengasuh Hikari, mengoreksi kosakata bahasa Eyangnya, dan mengingatkan Papap untuk berkosakata Bahasa Indonesia dan bukannya Betawi.
4> Usaha yang berjalan sejak Hikari baru lahir membuahkan hasil. Hikari lebih cepat bicara daripada berjalan (oke deh, ini sebenernya juga bukan achievement yak?). Pada usia kurang dari 2 tahun kosakatanya sudah banyak dan baik. Pada usia 2.5 tahun dia sudah bisa membuat kalimat yang baik, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, secara struktur dan pengucapan.
5> Ketika saya lihat bahasa Indonesia Hikari sudah baik, saya mulai menggunakan kosakata bahasa Inggris. Ia berusia 2 tahun waktu itu. Bila kami sedang membaca buku, saya akan berkata begini, “Ini Jerapah. Bahasa Inggrisnya Giraffe. Jerapah. Giraffe.” Saya selalu menyebut ‘Bahasa Inggrisnya…” untuk membuat dia mengerti bahwa kata itu ‘berbeda’ dari bahasa yang biasa dia pakai. Sampai usia Hikari 2.5 tahun, bahasa Inggris yang saya berikan ke Hikari hanya berbentuk kata. Saya belum menggunakan satu kalimat lengkap semisal ‘Sit down, please’ sesuai dengan alasan saya nomor 5 diatas; kondisi saya tak bisa menjadikan penggunaan kalimat tadi seotentik mungkin.
6> Ketika kami pindah ke Jepang, usia Hikari 2.5 tahun. Di Jepang, Hikari mendapat exposure bahasa Inggris (di apartment dan dormitory, juga dengan teman-teman Papap) dan bahasa Jepang, tentu saja. Pada saat ini lingkungan kami mendukung penggunaan bahasa Inggris. Maka saya baru menggunakan kalimat dan ekspresi bahasa Inggris secara lengkap kepada Hikari. Dari mulai ‘Sit down, please’ atau ‘Say, thank you’ dsb. Papap tetap dengan bahasa Indonesianya. Hikari sedikit-sedikit bisa menggunakan kalimat/ekspresi yang kami ajarkan tapi dia pun belum fasih/fluent. Untuk bahasa Jepang, kami hanya mengenalkan dia dengan kata/words karena kami sendiri juga tidak fluent. Yang membuat kami tersenyum puas adalah Hikari sanggup memanipulasi bahasa. Dia bisa berkata, ‘Aku melihat Bees disana’. Buat kami, Hikari sudah melek Parts of Speech. Dia tahu harus menaruh kata benda dimana.
7> Kemampuan bahasa Jepang Hikari diasah ketika masuk sekolah di usia 3 tahun pas. Di sekolah ini Hikari tak mendapat penerjemah. Bahasa yang digunakan hanya satu; bahasa Jepang. Satu bulan pertama, Hikari terlihat berusaha menyerap semua bahasa yang dia dengar. Mungkin juga dia sedang berusaha me-make sense bahasa-bahasa tadi. Hasilnya, Hikari seringkali mengganti kata yang dia tidak tahu dengan bahasa planet, yang terdengar seperti orang nggerundel. Hanya saja dia tidak terlihat stress, malah happy-happy saja. Setelah lewat satu bulan, dengan vocab yang lebih banyak, semua kata yang tadinya dia lafalkan seperti bahasa planet sudah diganti dengan kata bahasa Jepang yang benar. Kadang, struktur bahasa masih pakai bahasa Indonesia, tapi dengan vocab bahasa Jepang. Dia memanipulasi struktur bahasa: Dia bisa bilang ‘Aku gohan mau makan’ untuk ‘boku wa gohan tabetai (struktur bahasa Jepang S-O-V bukan S-V-O). Bulan kedua, Hikari mulai lancar berbahasa Jepang. Struktur sampai aksennya pun sudah bahasa Jepang. Sementara, Bahasa Inggrisnya ya masih begitu-begitu saja. Tahu vocab, tahu beberapa ekspresi, tapi tak bisa menggunakan secara aktif. Kami pun membiarkan saja. Paling-paling dia hanya menjawab Yes/No ketika ditanya orang. Buat kami jawaban sekedar Yes/No sudah menunjukkan pemahaman.
8> Ketika pulang ke Indonesia (usia 4 tahun lewat), bahasa Jepangnya sudah sangat fasih. Bahasa Indonesianya –seperti yang kami harapkan dari ‘perjuangan’ sebelumnya- juga tetap baik.
9> Sekarang, Hikari mulai belajar bahasa Inggris intensif karena sekolahnya menerapkan system bilingual. Saya memperhatikan proses penyerapan bahasa asing Hikari lancar-lancar saja. Dia tak kebingungan apalagi stress. Kosakata Inggris bertambah banyak. Bahasa Jepang masih dipakai walau kalau lagi sadar didengar orang dia akan segera tutup mulut. Bahasa Indonesia tetap baik.

Problem yang harus kami hadapi sekarang adalah
1: memberi arahan tentang bahasa slang. Dia boleh saja berbahasa slang (gak mungkin lah kalau gak boleh. Gak realistis namanya) tapi kita saring dan kita jelaskan arti serta penggunaannya.
2: menguraikan kalimat-kalimat bahasa Inggris yang dia dapat dari tivi, film, maupun lagu yang tak jelas terdengar pronunciationnya menjadi satu kalimat/kata yang meaningful. Pengucapan kalimat-kalimat itu seringkali terlalu cepat, sehingga yang terdengar akan seperti noise. Maka ketika Hikari mulai bubbling (misal: ketika Hikari meniru kalimat Spongebob: ‘Look, awacaktach big, wasweswossker, pink, worm’, saya akan mengucapkan kalimat itu kembali pelan-pelan ‘Look, it’s a big, scary, pink worm’ beserta artinya.)

Sekarang, apakah kami puas dengan kemampuan bahasa Hikari? Jelas. Dalam urusan berbahasa Inggris (sebagai bahasa standar penguasaan bahasa asing di negeri ini), Hikari memang sangat tidak selevel dengan anak-anak yang sejak dini disekolahkan di sekolah berbahasa asing atau bilingual. Beberapa orang juga berkata kalau kami terlalu santai dan telah menghilangkan Golden Period Hikari dengan tidak memaksimalkan kemampuannya. Kalau kami terbawa nafsu dan terpengaruh, kami pasti akan panik.

Untungnya kami sadar kalau 3 tujuan utama kami sudah tercapai:
1) Hikari mulai bicara lebih awal (mulai 1.5 tahun) dan tidak mengalami hambatan bicara. Dia juga mampu mengkomunikasikan perasaan dan pikirannya sejak dini. Hal ini sangat signifikan mengurangi dan menghilangkan tantrumnya sejak dini. Kami sungguh bahagiaaaa banget bisa meminimalkan masa tantrumnya.
2) Hikari bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan tetap bisa berbahasa ini walau ada exposure bahasa asing lainnya. Artinya, dengan satu fondasi yang kuat, dia sanggup menyerap yang lain.
3) Hikari tak mengalami gegar bahasa (language shock), yang bisa saja berujung ke gegar-gegar yang lain.

Apakah teori plus praktek yang kami terapkan kepada Hikari benar dan berhasil? Untuk Hikari, jawabannya IYA dan sudah terbukti. Alhamdulillah. Untuk anak anda? Anda yang paling tahu.

Tulisan saya ini sekedar memberi sisi lain dari isu ‘Membuat Anak Multilingual Sejak Dini’. Simpulkan saja tulisan ini dengan:
-> Tidak semua orang tua berusaha membuat anaknya bilingual sejak dini, kok. Contohnya, kami, hehehe…
-> Kalau anak anda juga belum atau malah tidak bilingual sampai sekarang (dalam hal ini berbahasa Inggris ya), tenang saja. Hikari juga tidak. Papap waktu kecil tidak juga. It’s not the end of the world. Jadi, tidak usah panik dan merasa seakan-akan anak anda adalah satu-satunya anak tertinggal dibanding seluruh populasi anak Indonesia.
-> Terlebih dulu, pikirkan dampak positif dan negatif sistem ini. Faktor-faktor pendukungnya, lingkungannya, pengajarnya (hati-hati loh dengan pengajar yang pronunciationnya tak benar), sekaligus juga tujuan anda membuat anak bilingual sejak dini. Kalau anda memang berencana mengirim anak anda belajar keluar negeri pada usia sekolah dasar atau high school, silahkan genjot kemampuan bahasa Inggrisnya (dan mengesampingkan kemampuan bahasa Indonesianya? Enggak kan?).

Terutama yang harus jadi bahan pemikiran: anak anda sanggup?!
-> Yang penting adalah APAPUN bahasa yang harus dikuasai si anak, PASTIKAN si anak menguasainya dengan BAIK. PENTING INI!

Tulisan asli ada disini.

Read More..

Monday, June 18, 2007

Early School Days

Waktu Hikari berumur 1.5, Eyang Uti-nya sibuk membujuk saya dan Papap untuk menyekolahkan Hikari ke Playgroup. Tapi, saya masih belum tertarik untuk menyekolahkan anak itu. Saya juga tidak melihat satupun alasan yang membuat saya harus mengirimnya ke sekolah. Sosialisasi? Di lingkungan rumah kami tidak kurang banyaknya teman sebaya. Mainan? Di rumah banyak mainan! Belajar? Aih, anak bayi belajar apa? Saya bisa mengajarinya sendiri di rumah. Saya punya banyak resources untuk mengajari anak di rumah. Namun, saya akhirnya mengalah.

Akhirnya, pada umur 2 tahun, Hikari resmi sekolah.

Hikari sekolah disitu sampai umur 2.5 tahun, sebelum kami berangkat menyusul Papap. Bagaimana kabar Hikari di sekolah? Selain urusan mainan yang memang lebih banyak di sekolahnya, saya masih berpendapat dia tidak perlu disekolahkan. Hikari, di umurnya yang masih piyik, jelas tidak bisa duduk diam. Di saat temannya yang lain duduk anteng dibacakan buku oleh gurunya, dia akan sibuk dengan mainannya dan menolak untuk mendengarkan gurunya bercerita.

Teori awal yang menyebutkan Hikari sekolah untuk bersosialisasi juga tidak terbukti. Definisi sosialisasi anak umur 2 tahun adalah I play with my toys, you play with yours. Don't mess with mine! Hikari juga paling anti disuruh mewarnai. Yang jelas, dia memang belum 'bisa' memegang krayon. Yang dia mau, hanya bermain: mobil, perosotan, pasir, puzzle, balok, dll dsb atau merawat binatang peliharaan sekolah: kasih makan kelinci, ikan, ayam, bebek, dan burung. Di luar itu, dia tidak bisa kooperatif untuk duduk diam di meja.

Sebenarnya, hal ini agak tidak biasa, karena kalau di rumah, justru dia yang akan merayu saya untuk membaca buku dan sanggup duduk diam berlama-lama melihat-lihat bukunya. Hmm...

Umur sekolah Hikari di Jakarta hanya 6 bulan. Setelah itu kita pindah ke Jepang. Di sini, Hikari belum bisa diterima di TK karena belum cukup umur: usia masuk TK adalah 3 tahun. Dibawah usia itu harus masuk Nursery School yang tidak mendapat bantuan uang sekolah. Pendaftaran sekolah di Jepang adalah bulan April, sementara pada April 2005 usia Hikari baru 3 tahun kurang 3 bulan. Kurang 3 bulan saja (!) tapi sekolah tetap tidak menerima Hikari. Hikari baru boleh masuk saat usianya 3 tahun 1 hari! Hikari ulang tahun bulan Juli akhir, tapi pada saat yang sama akhir Juli sampai akhir Agustus, sekolah libur. Jadilah Hikari masuk sekolah bulan September awal di usianya yang 3 tahun 1 bulan.

Entah karena perbedaan cara mengajar, atau karena umurnya yang memang lebih 'tua', perkembangan Hikari di sekolahnya yang baru maju jauh lebih pesat. Dalam jangka waktu 2 bulan saja Hikari berubah menjadi lebih mandiri dan bertanggung jawab. Beberapa hal saja, dia bisa dan mau duduk diam bila sedang mengerjakan sesuatu dan mempunyai rentang perhatian yang lebih lama. Dia juga tahu kapan waktu untuk bermain dan kapan waktu untuk melakukan hal yang lain, seperti membaca buku atau menggambar. Dan... dia sekarang senang mewarnai dan sudah bisa menggambar!


Kemudian, saya menemukan satu buku berjudul Raising Boys karangan psikolog Australia terkenal, Steve Biddulph. Saya pernah membaca bukunya yang lain, and I loved it. Simple aja alasannya: karena apa yang dia kemukakan masuk akal, ilmiah, dan tidak mengada-ada. Maksudnya, advice dia pada orang tua benar-benar down-to-earth tidak seperti banyak buku parenting yang lebih banyak bikin saya merasa gagal jadi ortu hanya karena tidak mampu tetap tersenyum manis dan penuh kasih setiap kali anak saya tantrum :(

My personal opinion? Hebat! Steve benar-benar membuka mata saya dan Papap tentang seorang anak laki-laki! Psikolog ini menjelaskan hubungan antara hormon anak laki-laki yang berkaitan dengan 'kelakuannya', ia juga memaparkan risetnya, dll dsb.

Ada satu topik yang sungguh tidak bisa saya lupakan dari buku ini, mengenai When Boys Should Start School. Yang kutipannya seperti ini...

Hal 12: EARLY CHILDCARE IS NOT GOOD FOR BOYS
If at all possible, a boy should stay home with one of his parents until age three. Childcare of the institutional kind -such as large childcare centers- does not suit boys' nature during these very early years. Many studies have shown that boys are more prone than girls to separation anxiety and to becoming emotionally shut down as a result of feeling abandoned. Also a boy of this age can develop restless or aggressive behavior in childcare and carry this label, and the role that goes with it, right on into school.

Hal 68: STARTING SCHOOL - Why Boys Should Start Later
At the age of six or seven, when children start serious schooling, boys are six to twelve months less developed mentally than girls. They are especially delayed in what is called 'fine-motor coordination', which is the ability to use their fingers carefully and hold a pen or scissors. And since they are still in the stage of 'gross-motor' development, they will be itching to move their large muscles around, so they will not be good at sitting still.
In talking to heads of infant departments.... , the same message comes through: 'Boys should stay back a year'. It's clear that all children should attend kindergarten from around five years of age, since they need the social stimulation and wider experiences it provides. But the boys should stay there longer -up to a year longer in some cases. For most, this would mean they move through school being a year older than the girl in the next desk. Which also means that they are, intellectually speaking, on par.
Eventually boys catch up with girls intellectually but, in the way school work now, the damage is already done. The boys feel themselves to be failures, they miss out on key skills because they are just not ready, and so get turned off from learning. In early primary school, boys (whose motor nerves are still growing) actually get signals from their body saying, 'Move around. Use me'. To a stressed-out first grade teacher, this looks like misbehavior. A boy sees that his craft work, drawing and writing are not as good as the girls', and thinks, "This is not for me!". He quickly switches off from learning, especially if there is not a male teacher available. "School is for girls", he tells himself.

Membaca buku ini membuat saya dan Papap berlomba menghitung umur Hikari. Akhirnya kami sudah sepakat, kalau mungkin, untuk memasukkan Hikari ke SD di usianya yang lebih dari 6 tahun. Dan, sama sekali tidak kurang. Alasannya, bukan semata-mata karena percaya 100% dengan buku ini, tapi kami sudah mempunyai cukup banyak contoh baik/buruk disekeliling kami. Bahkan kami mempunyai contoh di kerabat dekat kami sendiri, yang masuk sekolah terlalu awal ataupun yang masuk sekolah usia 7 tahun. Buku ini hanya sekedar menjadi referensi ilmiah 'kenapa'-nya. Sekarang ini kami sedang memikirkan 'bagaimana'-nya.

Papap sudah mengingatkan bahwa mungkin keputusan kami tidak populer. Bukankah di Indonesia, anak yang masuk sekolah lebih awal 'dianggap' lebih pintar? Belum lagi 'mengajarkan' kepada orang-orang bahwa less-developed mentally bukan berarti less-developed intellectually. Anak pintar tidak berarti mature. Anak yang mature, saya percaya, lebih bahagia dibanding... yang tidak mature, tentunya :)

catatan: kutipan diatas sudah pernah di-share di Blogfam dan Dunia Ibu. Tulisan ini aslinya ditayangkan disini.

Read More..

Saturday, June 16, 2007

Cerita Hikari

- Hikari lahir normal, tapi harus divakum berat. Itupun setelah tiga kali vakum baru berhasil. Tidak jelas apa penyebabnya. Saya sendiri sudah hampir pingsan setelah mendapat 2 kali suntikan perangsang kontraksi. Setelahnya, Hikari harus menginap di inkubator selama 10 hari tanpa bisa digendong karena kulit kepalanya luka.

- Hikari bukan bayi yang anteng. Selama 3 bulan pertama, dia sering bangun malam dan menangis tak henti. Kami sampai hilang akal untuk mendiamkannya. Setelah 3 bulan, dia juga sangat sensitif, secara emosional, terutama, kalau saya -mamamya- juga sedang emosional.

- Usia 3 bulan, setelah imunisasi DPT pertama, daya tahan badan Hikari menjadi rentang. Dia mulai sakit-sakitan. Badannya mengurus, nafsu makan berkurang drastis, alergi berat terutama kepada sea food. Pada usia 1 tahun, baru ketahuan kalau dia menderita immuno deficiency, kerentanan pada sistem kekebalan tubuh. Tingkat sensitifitas/alergi-nya juga tinggi, melebihi level normal orang dewasa. Dan, menurut dokter yang merawatnya, Hikari tidak tahan pada beberapa bahan dalam vaksin. Sejak itu Hikari berhenti diberi vaksin.

- Hikari baru bisa berjalan usia 16 bulan. Terlambat, kata banyak orang. Tapi, usia 17 bulan, dia tiba-tiba bisa berseru lantang dan jelas, "Gajah". Semua orang kaget. Apalagi setelah itu, kemampuan bahasanya berkembang lebih pesat dari kemampuan berjalannya.

- Hikari itu accident prone. Kalau berlari satu meter, belum sampai satu meter pasti jatuh. Kalau berjalan, pasti kakinya nyenggol kaki meja atau kursi, lalu jatuh. Orang-orang tua bilang ini karena dia a late walker. Konsultasi dokter tentang kemungkinan kelainan pada indra penglihatannya, memberi hasil negatif.

- Hikari punya daya imajinasi sangat tinggi, terutama sejak dia bisa berbicara. Kami pikir karena dia senang pada buku. Hikari juga mampu mengingat dengan detil setiap cerita yang dibacakan kepadanya.

- Kemampuan mengingatnya yang tinggi membuatnya mampu mengingat sesuatu sampai kebagian yang paling detil. Suatu cerita, gambar, film, suasana, tempat, wajah orang, semua bisa diingat dengan sangat baik.

- Hikari sangat-sangat aktif. Dia bisa seharian berlari, berlompatan, berguling-guling, dan sebagainya, tanpa merasa capek. Orang-orang disekitar kami berpikir dia hiperaktif. Beberapa bahkan menyebutnya dengan ADD (Attention Deficit Disorder).

- Hikari sangat senang main balok atau Lego. Dia mampu merakit Lego menjadi suatu bentuk yang impresif (untuk anak seusianya), tanpa melihat manual book. Dia sanggup bermain balok atau Lego selama berjam-jam. Beberapa orang kemudian melabeli dirinya dengan Autis.

- Usia 2 tahun, Hikari mulai sekolah di play group, yang ternyata tak bisa membuatnya diam. Di play group itu dan disekolah TKnya yang sekarang, tingkah laku yang sama terlihat: tidak bisa duduk diam, cenderung memisahkan diri dari kelompok, tidak betah pada kegiatan belajar yang duduk-menyimak-menghafal. Tapi, dia terlihat menikmati kegiatan outdoor. Tingkah lakunya ini tidak terlihat pada saat Hikari sekolah di Jepang (usia 3-4.5). Menurut pengamatan kami, ini terjadi karena di Jepang (TK), kegiatan indoor tak pernah berlangsung lebih dari satu jam. Pelajaran indoor selalu diselingi dengan kegiatan outdoor. Materi pelajaran juga selalu hands-on dan real-life.

- Hikari anak yang sensitif. Dia bisa merasakan emosi orang-orang di dekatnya.

- Hikari juga cenderung untuk "act first, think later".

- Gurunya di TK A mengeluhkan Hikari yang dirasakan kurang involved di kelas, tak mau duduk diam, dan tak tertarik pada caranya mengajar. Guru ini meminta kami untuk mengubah cara belajar Hikari. Catat: Mengubah Cara Belajar (dan bukan mengubah CaraNYA MEngajar).

- Usia hampir 5 tahun, psikolog sekolah (Indonesia) mendeteksi Hikari sebagai Right-Brained. Semua tingkah lakunya yang dilabeli orang sebagai ADD atau Autis, ternyata adalah ciri-ciri dari anak Right-brained.

- Berdasarkan hasil dari observasi 3 psikolog (1 psikolog dari kami, 1 dari luar sekolah atas permintaan sekolah, 1 dari sekolah), kemampuan akademis Hikari dinyatakan diatas rata-rata. Rekomendasi dari ketiga psikolog adalah dia (dan teman-temannya) mendapatkan cara pengajaran yang tepat. Rekomendasi ini kami berikan ke kepala sekolah. Pihak sekolah kemudian memberikan training dua hari tentang different learning styles kepada guru-gurunya.

- Teori brain dominance (Jeffrey Freed, MAT) mengatakan, kontinum Otak Kiri-Kanan itu sebagai berikut:
1) pada sisi paling kiri sekali adalah orang-orang penderita schizophrenia.
2) pada sisi kiri setelah penderita schizophrenia adalah otak dari orang-orang (sebagian besar) akademis atau guru-guru. Tidak heran bila dunia akademis (sekolah) itu didesain secara left-brained.
3) pada sisi tengah, orang-orang yang mempunyai whole-brained dominance. Orang-orang ini unggul karena mampu menggunakan kedua bagian otaknya secara seimbang.
4) pada sisi kanan, setelah whole-brained, adalah orang-orang yang right-brained, (terutama) para arsitek, desainer, dan kreator yang lain.
5) pada sisi ke kanan lagi, adalah orang-orang penderita ADD.
6) lebih ke kanan lagi, adalah orang-orang penderita Dyslexia.
7) paling kanan dari kontinuum, adalah orang-orang penderita Autism.
(Right-brained children in a left-brained world: Jeffrey Freed, MAT. Page 52)

- Hikari berada di kelompok nomor 4. Tugas kami sekarang adalah memastikan kalau dia bisa survive di dunia pendidikan yang di desain untuk anak-anak berotak kiri. Termasuk juga, memberi pendidikan kepada orang awam tentang anak-anak dengan learning style berbeda.

Read More..